Sajak Nuruddin Nur Asyhadie


"kau menari zarathustra kau menyanyi zarathustra."

di koran minggu itu seorang gila bertopi bisbol, beslah tua, blue jean jebol. menari. sehelai selendang warna jingga melilit lehernya. Ia gerakan kaki. cring! cring! terdengar suara gemrincing. cring! cring!

"delapan puluh persen orang amerika sinting."

dan sebentar lagi, dunia ketiga dilindas anjing gila, peradaban masa. skizofrenia, skizofrenia!

"kau masih saja menari zarathustra, masih saja menyanyi."

sedang gembel tua itu mendesis-desis julurkan lidah bagai kobra, menjilatkutuki kakinya luka. ia panggil nama, ketika ditemukannya wajah pada genangan air sisah hujan kemarin: "kim!kim!kim!

tapi siapakah kim? siapakah kim?

ia rindu pada rumah. pada bilik hangat tempat sembunyikan mimpi-mimpi laknat. "beri aku perempuan," pintanya. yang akan dielusnya sepanjang malam, sepanjang malam. sampai gugur bintang gemintang sampai pada itu kelam sebisik gumam.

"aku mencintaimu ibu."



tidak ada koran pagi di sini. tidak ada novel tempat kita bermain petak umpet. antariksa menggambar 1939-1945, alies vs axis, merebus batu ketika uang jatuh. perancis dan inggris meraung-raung ledakan kepalamu.
tidak ada koran pagi di sini. tidak ada novel. hanya sebuah ruang yang gamang. dan landung membacakan sajak tiang listrik. aku, hamm yang buta. bibirku kilap oleh lipstik. biar kutebak. bukankah ini kalimatku?
tidak ada yang bukan omong kosong di sini. langit penuh ludah. kata?
seseorang telah membunuhnya, alina. seseorang. mungkin clov, mungkin oran gila yang iseng. tapi andaikata bisa, ingin kubakar perahu ini.
sebab aku hamm. palu. biar kutebak. bukankah ini kalimatku? tidak ada yang bukan omong kosong di sini. manakah jawab? mata telinga hidung mulut kelaminku adalah tanya. berjuta tanya menghambur ke tubuhmu seperti 20.000.000 sperma menyetubuhimu. merobek vaginamu. alina. tapi andaikata bisa akan kubakar perahu ini. sebab aku palu. akan kusulap
ombak laut jadi rumahku. kumasuki telinga sendiri. ai, siapakah itu batu hitam meremuk muka sendiri.



cuni
"buka pintu! buka pintu!"

kupanggil namamu.ketika gelap melahap. tapi sepi tapi sunyi
menjelma pisau merobek kerongkongku. biar
biar aku di sini. berjudi dengan diri sendiri. aku tak percaya
omong kosong itu, seperti ku tak percaya masa lalu kini dan esok. hanya
ketika kumasuk di setiap incimu kutemukan aku dan kesendirian yang lama
mendendam. adam,

tujuh malam ia gigil kedinginan. ia berdiri di sana dan selalu di sana.
menunggu hawa membuka pintu gua. setelah ular menculik itu perempuan
dari ranjang.



ia banting matahari itu ke lantai, sampai pecah berkeping. suaranya
berdentang seperti piano yang kau rajam dengan kapak dendam. lantai
yang tak pernah menyangka, memuntahkan dadanya: "kenapa kau lantakan
matahari?" ia merasa gusar dan tak habis pikir dengan segala lelucon
ini; daun-daun menggorok lehernya sendiri kerna tak mampu lagi berfoto
sintesa, perempuan-perempuan mencengkeram dada-dada lelaki. "kapankah
malam segera menepi? agar terbebas rasa dosa." tapi hanya sia. hanya
sia ditelannya. "kenapa kau lantakan matahari?" barangkali ia menjadi
gila, ketika kata ternyata bukan siapa-siapa.



kita masih bercakap tentang hangat laut. debar menunggu maut. kopi yang
kau tuang meluap ke atas meja ke atas lantai

"mainkanlah sebuah requiem untukku!"

secangkir kopi ternyata tak cukup berarti lepaskan dahaga atau hanya
iseng tak lebih sebuah iseng

"tapi tak pernah kupermainkan hidup. meski ia tonel
belaka. tapi tak pernah kupermainkan hidup. ujarmu pada waktu.
lalu kitapun menyerah selalu menyerah selalu kalah sial

mungkin ia masih ayah yang dulu yang suka hadiahkan kita topi koboi
dan pistol-pistolan."

ini mimpi kanak-kanak. kembali tawa kembali mimpi.

"kusembunyikan topimu di bawah ranjang, sebab punyaku hilang digasak
anak pasar. tapi kau tak tahu. kau menangis dan mengadu. lalu apa ia
bilang:
jadilah anak hidup yang piatu, lupakan mimpi lubang rahim ibu."

reguk tetesan akhir kau tuding malam dengan cangkir

"kucampuri kopi ini peptisida, baygon, cyanida!"

reguk tetesan akhir kau acungkan rembulan, bintang, bima sakti,
galaksi-galaksi

segala pedih.



maut yang menari memanggil-manggil namamu. kau masih saja
bertahan di ranjang itu bersenggama dengan mimpi alif dan lammu
tapi bukankah kita telah berjanji tak menyerah pada ibu yang menepuk
pipi
dan menyibak selimutmu di pagi? bukankah kita telah setuju tak biarkan
pisau karat waktu menikam lehermu? dedaunan tua rapuh jatuh tersapu
angin di karangan itu memuakan diriku.



sebelum tidur ia menghafal nama-nama nenek moyang
yang oleh ibunya dituliskan di langit-langit kamar

"untuk apakah semua ini ibu?" tanyanya suatu ketika

perempuan yang selalu menyelinap dalam mimpi jahatnya
yang selalu pula menerbitkan air liur untuk menculiknya dari genggaman
lelaki yang dipanggilnya ayah, mengoleskan minyak urut ke telapak
kakinya

"agar kita memberi makna," jawab perempuan itu

tapi setiap kali ia sampai pada namanya
selalu ia gagal mengeja



seperti anak-anak lain di negeri ini
ia dilahirkan lewat telinga

"namaku karna, anak haram sang hidup. ibuku pelacur kunti
bapakku dewa-dewa vasco de gama, jhon pieter coen, rafless, khan!"

maka ia bukanlah malin kundang. ia adalah aib
yang tahu letak duduk dan petarangan. membangun diri
dari sampah dunia pertama dari kisah-kisah besar nenek moyang

setiap hari, menyalang matahari
dan bersama anak-anak lain meludah ke langit
meski tertepuk muka sendiri.

demikianlah,

di dinding itu, anak-anak yang dilahirkan lewat telinga itu
menuliskan dirinya, menuliskan kematian yang terkandung
di nafasnya, sembari mencoba bicara

dengan bahasa sendiri
(meski orang sebut itu zombie
atau frakenstein)

meski retak, memang retak.



titik hujan yang pertama. dan kitapun larut pada aspal, pohonan tua,
wajah kota yang merana. entah, ini setasi keberapa. ruang-ruang dalam
peta tak terbaca. hanya masa silam hanya masa silam membikin kita ada.
Seseorang
-entah siapa, di lorong di depan sana, bersajak tentang keabadian.
"o eternity! o, eternity!" menari-nari di atas api.
" tuhan telah mati!"
kita di sini gamang sendiri.
"kenapa tak kau bunuh saja aku?" tanyamu. entah
pada siapa
aku atau dia.



di dalam sajak kau gali maut dengan tanganmu sendiri, dengan jemari
yang telah memperkosa ibumu, mencerabut zakar ayahmu.
kau bilang itu kubur, padahal hanya dengkur. lalu kau bacakan
dongeng sebelum tidur, yang kau pungut dari televisi atau koran pagi
atau obrolan sore
warung kopi, kau hamparkan di tubuhku
selimut tebal, membiarkanku sembunyi dipeluk mimpi.
esoknya,
matahari mencubit mataku. kau baru saja terjaga
membuka jendela dan berdiri di sana
menanggung sejarah yang tertanam di punggungmu.
kau rindukan malaikat yang akan merobek dada dan merampas empedumu
yang mengajarimu membaca alif qaf ra
sampai kau lari terbirit pulang ke rumah.
"tapi kita bukan nabi," keluhmu.
jam dinding menunjuk pukul tujuh.

Penulis : ALSYA ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Sajak Nuruddin Nur Asyhadie ini dipublish oleh ALSYA pada hari . Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Sajak Nuruddin Nur Asyhadie
 

0 komentar: